Apabila sudah terdapat kesepakatan mengenai harga tanah antara penjual dan calon pembeli, selanjutnya penjual dan calon pembeli datang ke kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang akan dijual untuk membuat akta jual beli tanah.
“Siapakah Pejabat Pembuat Akta Tanah itu ? “
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu, yaitu Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Tanggungan, Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik dan pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. “Didaerah tertentu kebanyakan orang yang akan membuat akta jual beli tanah datang ke kecamatan. Apakah Camat sama dengan PPAT? “
Untuk daerah-daerah yang belum cukup jumlah PPAT-nya, Camat dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara, dan untuk desa yang sangat terpencil, Kepala Desa dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Keputusan Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah setempat atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, jadi hanya Camat untuk daerah tertentu yang belum cukup PPAT-nya atau lurah/kades untuk daerah terpencil yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara yang dapat membuat Akta PPAT.
“Persyaratan apa saja yang diperlukan untuk membuat akta jual beli tanah di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah?”
Anda harus membawa : sertipikat tanah asli dari tanah yang akan dijual, KTP, bukti pembayaran PBB (Pajak Bumi & Bangunan), surat persetujuan suami/istri bagi yang sudah berkeluarga, dan kartu keluarga.
Calon pembeli membawa : KTP dan kartu keluarga
“Bagaimana proses pembuatan akta jual beli di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah?”
Persiapan pembuatan akta jual beli
1) Sebelum membuat akta jual beli, PPAT melakukan pemeriksaan mengenai kesesuaian sertipikat dengan data-data yang ada di Kantor Pertanahan.
2) Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5% dari harga jual apabila harga jual beli tanah diatas Rp.60.000.000,-
3) Pembeli harus membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai perolehan obyek pajak kena pajak. Nilai perolehan obyek pajak kena pajak adalah nilai perolehan obyek pajak dikurangi nilai perolehan obyek pajak tidak kena pajak yang ditetapkan secara regional (masing2 Kabupaen/Kota) paling banyak Rp.60 juta.
4) Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat dibayarkan di bank atau kantor pos. Sebelum Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dilunasi akta belum dapat ditandatangani.
5) Calon pembeli harus membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum dan tanah absentee (guntai).
6) Pihak penjual membuat pernyataan bahwa tanah yang dimiliki tersebut tidak dalam sengketa.
7) Pejabat Pembuat akta tanah menjelaskan maksud dan isi pernyataan diatas.
8) PPAT wajib menolak pembuatan akta jual beli apabila:
- Tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa, perkara atau disita oleh pengadilan.
- Kepada PPAT tidak diserahkan sertipikat asli atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar yang ada di kantor pertanahan.
- Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk melakukan jual beli.
- Salah satu pihak bertindak atas dasar kuasa mutlak yang ada pada hakikatnya berisi perbuatan hukum memindahkan hak.
- Belum diperoleh ijin dari pejabat yang berwenang.
Pembuatan Akta Jual Beli
1. Pembuatan akta harus dihadiri oleh pihak penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
2. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekuarang2nya dua saksi
3. PPAT wajib membacakan akta serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, serta prosedur pendaftaran tanah yang harus dilaksanakan.
4. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan pejabat pembuat akta tanah, setelah dilunasi pajak penghasilan dan BPHTB.
5. Akta dibuat asli dalam 2 lembar, lembar pertama disimpan di kantor PPAT dan lembar kedua disampaikan ke kantor pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama).
6. Kepada penjual dan pembeli diberikan masing2 salinannya.
“ Berapa biaya yang harus dibayar untuk membuat akta jual beli ? “
Besarnya biaya pembuatan akta tidak boleh melebihi 1% dari harga transaksi yang tercantum didalam akta.
“Bagaimanakah langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan akta jual beli?”
A. Setelah selesai pembuatan akta jual beli, PPAT kemudian menyerahkan akta jual beli dan dokumen lain yang diperlukan ke kantor pertanahan untuk keperluan balik nama sertipikat.
B. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
C. Berkas atau dokumen yang diserahkan terdiri dari surat permohonan pendaftaran balik nama, surat kuasa tertulis (apabila balik nama diajukan bukan oleh pembeli), akta jual beli PPAT, sertipikat hak atas tanah, fotokopi KTP pembeli dan penjual, ijin pemindahan hak dari pejabat yang berwenang (apabila diperlukan), bukti pelunasan pembayaran pajak penghasilan (PPH), bukti pelunasan BPHTB.
”Bagaimana prosesnya di Kantor Pertanahan? ”
1. Setelah berkas disampaikan ke kantor pertanahan, kantor pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada pemohon ata kuasanya.
2. Nama pemegang hak lama (penjual) didalam buku tanah dan sertipikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
3. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
4. Pendaftaran balik nama sertipikat dikenakan biaya Rp.25.000,- , apabila tidak ada perubahan batas bidang tanah yang bersangkutan.
Cara Menghitung BPHTB Dalam Jual Beli Tanah
Pada saat melakukan jual beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan pembeli akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas tanahnya. BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual beli tanah, tapi juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan (tukar menukar, hibah, waris, pemasukan tanah kedalam perseroan, dan lain-lain).
Dalam transaksi jual beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembeli. Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah adalah harga transaksi. Hal ini berbeda misalnya dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli – terkadang harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP. Apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut – nilai yang paling tinggi diantara NPOP dan NJOP.
Selain NPOP dan NJOP, faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tariff BPHTB. Misalnya, jika harga transaksi tanah Rp. 100.000.000, maka sebelum harga transaki tersebut dikenakan tariff BPHTB (5%) terlebih dahulu harga transaski itu dikurangi NPOPTKP – misalnya dikurangi NPOPTKP sebesar Rp. 80.000.000 untuk daerah DKI Jakarta. Hal ini membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak penjual – penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Setiap daerah memiliki NPOPTKP yang berbeda, tergantung peraturan daerah tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta, misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 80.000.00000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp. 350.000.000 untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah.
Contoh menghitung BPHTB dalam transaski jual beli tanah:
Wahyu membeli tanah milik Arya dengan nilai jual beli sebesar Rp. 200.000.000. Maka pajak penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB) NPOP : Rp 200.000.000,00 NPOPTKP : Rp 80.000.000,00 (-) NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000,00 BPHTB: : 5% x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
NPOP : Rp 200.000.000 NPOP Kena Pajak : Rp 200.000.000 PPh: 5% x Rp 200.000.000,00 = Rp 10.000.000
PPJB dan AJB
Dalam transaksi jual beli tanah, seringkali kita mendengar dua istilah ini: PPJB dan AJB. PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli. Kedua istilah itu merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang berbeda.
Perbedaan utama kedua istilah tersebut adalah sifat otentikasinya. PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat dibawah tangan (akta non otentik). Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak (calon penjual dan pembeli) dan tidak melibatkan notarsi/PPAT. Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tersebut tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya – tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
PPJB umumnya mengatur bahwa penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli, namun hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab tertentu, misalnya tanahnya masih dalam jaminan bank, atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Dalam transaksi jual beli tanah, calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berebda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan (balik nama) dari penjual kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syaratisyarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian maka PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat dibawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Hak Guna Usaha (HGU) Atas Tanah
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Bedanya dengan Hak Pakai, Hak guna Usaha hanya dapat diberikan untuk keperluan pertanian, perikanan atau peternakan untuk tanah yang luasnya minimal 5 hektar, serta terhadap Hak guna Usaha tidak dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain namun dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman berumur panjang. Atas permintaan pemegang hak, dan dengan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 25 tahun.
Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 Hektar. Jika luas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan Hak Guna Usahanya harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha diberikan berdasarkan Penetapan Pemerintah.
Pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna Usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan badan hukum asing. Pemberian Hak guna Usaha pada badan hukum yang bermodal asing hanya dimungkinkan dalam hal diperlukan berdasarkan undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Syarat-syarat pemberian Hak Guna Usaha, demikian juga peralihan dan penghapusannya, harus didaftarkan. Pendaftaran tersebut meliputi kegiatan:
1. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya.
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Permohonan Pemecahan Sertifikat Tanah
Pada prakteknya proses pemecahan sertifikat tanah kemungkinan terdapat berbedaan akan penerapan dan pelaksana dilapangan. Memo ini dibuat terbatas melalui studi kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan dan beberapa artikel serta beberapa buku pertanahan tanpa melalui konfirmasi kepada pejabat pertanahan terkait.
Peraturan Terkait:
1.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Mengenai Ketentuan Umum Pertanahan (“UU No.5/1960?);
2.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PP
No.24/1997“);
3.Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.46/2002“);
4.Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen No.3/1997“);
5.Peraturan Kepala BPN RI No.6 Tahun 2008 Tanggal 11 Juni 2008 Tentang Penyederhanaan Dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan Pertanahan Untuk Jenis Pelayanan Pertanahan Tertentu (“Peraturan No.6/2008“);
6.Surat Edaran Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003 Tentang Pengenaan Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan, Pendaftaran Tanah, Pemeliharaan Data Pertanahan dan Informasi Pertanahan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 (“SE No.600-1900?).
7.Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-3637 Tahun 1998 Tentang Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1998 Tentang Kewenangan Menandatangani Buku Tanah, Sertifikat Dan Surat Ukur (“SE No.110-3637“); dan
8.Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanaan Nasional Nomor 2 Tahun 1996 Tentang Pengukuran Dan Pemetaan Untuk Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah;
Pokok Permasalahan:
Bagaimanakah tatacara/prosedur dan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan pemecahan sertifikat tanah berdasarkan hukum serta berapa lamakah proses pemecahan sertifikat dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Gambaran Umum Mengenai Pemecahan Sertifikat:
Tanah perumahan yang dikembangkan developer umumnya berasal dari banyak pemilik tanah, karena itu statusnya juga beranekaragam dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Diantaranya ada yang baru girik, ada yang sudah HGB (SHGB) dan hak milik (SHM), ada yang bahkan tidak dilengkapi dokumen. Setelah dibeli semua tanah itu disertifikatkan atas nama developer dengan status HGB. Inilah yang disebut sertifikat induk.
Saat tanah dikaveling-kaveling dan dipasarkan berikut bangunan, sertifikat induk itu dipecah atas nama konsumen, juga dengan status HGB. Dalam praktik SHGB bersama dokumen lain seperti IMB dan akta jual beli (AJB), diterima bank dari developer dalam 12 bulan sejak konsumen melunasi bea balik nama (BBN). Jadi, bila mengambil KPR berjangka dua tahun, bank bisa langsung menyerahkan sertifikat begitu kredit lunas.
Tapi, ada saja masalah yang membuat sertifikat belum bisa dipecah dan diserahkan developer ke bank. Misalnya, untuk menghemat biaya, pengurusan sertifikat dilakukan sekaligus setelah satu tahap pengembangan selesai melalui oknum kantor pertanahan dan bukan notaris/PPAT. Sebelum rampung si oknum dimutasi ke bagian lain, sehingga data-data dan dokumen konsumen yang sudah diserahkan developer berceceran. Akibatnya, pengurusan harus diulang melalui oknum pejabat yang baru. Pemecahan sertifikat pun tertunda.
Hanya konsumen yang telah melunasi kewajibannya saja yang bisa memperoleh sertifikat. Setelah semua kewajiban dilunasi, secara otomatis bank yang memberikan kredit perumahan akan memberikan sertifikat tersebut kepada konsumen. Namun sertifikat yang diberikan baru memiliki status hak guna bangunan. Ini karena sertifikat belum berganti nama kepada konsumen. Untuk memiliki sertifikat milik, konsumen harus mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah disetujui barulah konsumen akan mendapatkan sertifikat milik.
Dalam pelaksanaan dilapangan sehari-hari waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengurus sertifikat hak milik. Tapi yang pasti, kalau prosesnya berlarut-larut, berarti konsumen belum menyerahkan semua data yang diperlukan BPN. Karena biasanya, proses perubahan jenis sertifikat tidaklah sulit.
Sebenarnya setelah konsumen sepakat melakukan akitivitas jual-beli dengan pengembang, tidak lagi ada lagi kewajiban bagi pengembang untuk mengurus persoalan tersebut. Karena tanah dan bangunan tersebut telah dimiliki konsumen. Kalau konsumen mempergunakan jalur KPR untuk membayar rumah yang dibelinya, maka bank akan menyimpan sertifikat tersebut. Bank tidak mungkin memberikan sertifikat kepada konsumen. Bila dilakukan, kemungkinan konsumen lalai membayar kewajibannya cukup besar.
Bila konsumen langsung membayar lunas, tentunya pengembang akan langsung memberikan sertifikat tersebut kepada konsumen. Kalau dalam jangka waktu yang telah ditentukan, pengembang belum menyerahkan sertifikat. Berarti, pengembang telah melanggar kewajibannya.
Ketua Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) DPD Jawa Timur Nurhadi, menuturkan, proses legalitas lahan itu telah terjadi kalau pengembang telah memiliki sertifikat. “Pengembang tidak mungkin bekerjasama dengan perbankan kalau perumahan yang dikembangkannya tidak memiliki sertifikat,” jelasnya.
ketika hendak membangun proyek di sebuah tempat, biasanya pengembang membebaskan berbagai jenis status lahan. Ada yang berstatus girik, tidak sertifikat, dan bahkan ada yang telah besertifikat. Setelah dibebaskan pengembang kemudian mengurus sertifikat tanah yang dibelinya ke BPN. Semuanya digabung dalam satu sertifikat sesuai dengan kegunaan masing-masing lahan. Misalkan saja ada yang diperuntukan untuk fasos, fasum dan perumahan itu sendiri. Serfitikat yang dimiliki pengembang tersebut biasa disebut sertifikat induk. Jenis sertifikat biasanya adalah hak guna bangunan. Ini karena ketika mendaftar, pengembang mempergunakan badan hukum. Namun ketika konsumen membeli rumah, sertifikat tersebut dipecah lagi sesuai dengan kepemilikannya.
Tentunya ketika sebuah rumah dibeli konsumen, maka kepemilikannya juga akan berubah, ketika hendak merubah status sertifikatnya, maka konsumen tidak lagi berhubungan dengan pengembang. Melainkan langsung berhubungan ke BPN. “Kalau membeli rumah melalui KPR, pengembang biasanya telah memecah sertifikatnya. Kalau tidak, perbankan tidak akan tertarik.
Dalam kesempatan itu, dia berharap, agar konsumen terlebih dahulu mempertanyakan legalitas perijinan atas rumah yang akan dibeli, baik izin lokasi pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan maupun ijin-ijin lainnya kepada pengembang. Setelah itu, konfirmasi informasi perijinan yang disampaikan pengembang kepada pemerintah setempat dan perjelas apakah lokasi perumahan yang akan dibeli peruntukan lahannya sesuai dengan tata ruang tata wilayah yang ditetapkan pemerintah setempat.
Pemecahan Sertifikat Tanah
Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula. Pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Dalam hal pemisahan sertifikat diatas untuk tiap bidang harus dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya. Apabila tanah yang ingin dipisahkan tersebut dibebankan hak tanggungan, dan atau beban-beban lain yang terdaftar, maka pemecahan sertifikat tersebut baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan.
Dalam pendaftaran pemisahan bidang tanah surat ukur, buku tanah dan sertipikat yang lama tetap berlaku untuk bidang tanah semula setelah dikurangi bidang tanah yang dipisahkan dan pada nomor surat ukur dan nomor haknya ditambahkan kata “sisa” dengan tinta merah, sedangkan angka luas tanahnya dikurangi dengan luas bidang tanah yang dipisahkan.
Pemecahan bidang tanah tidak boleh merugikan kepentingan kreditor yang mempunyai hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Oleh kerena itu pemecahan tanah itu hanya boleh dilakukan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari kreditor atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban lain yang bersangkutan sehingga beban yang bersangkutan tidak selalu harus dihapus. Dalam hal hak tersebut dibebani hak tanggungan, hak tanggungan yang bersangkutan tetap membebani bidang-bidang hasil pemecahan itu.
Dalam hal tanah yang ingin dipecah adalah tanah pertanian, maka diwajibkan untuk memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pemecahan sertifikat dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang dapat dilimpahkan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuknya.
Permohonan Pemecahan Sertifikat Tanah:
1.Persyaratan Permohonan Pemisahan Sertifikat Tanah:
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang dapat dilimpahkan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian maka permohonan ditujukan kepada Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dengan dilampiri dengan beberapa dokumen berikut ini (Lampiran IX Peraturan No.6/2008):
1.Fotokopi identitas diri pemohon dan atau kuasanya yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;
2.Sertipikat hak atas tanah;
3.Ijin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahan penggunaan tanah;
4.Ijin tertulis dari pemegang hak tanggungan apabila tanah tersebut dibebankan hak tanggungan;
5.Surat kuasa apabila permohonan pemecahan tidak dilakukan oleh sipemilik hak atas tanah tersebut; dan
6.Sertipikat Hak Atas Tanah asli, khusus bagi pengembang, harus juga menyertakan Site Plan kawasan pembangunan perumahannya.
Biaya Administrasi Pemecahan Sertifikat Tanah:
Sebagaimana diatur didalam PP No.46/2002 disebutkan bahwa penerimaan bukan pajak yang diterima negara dalam rangka pemecahan sertifikat tanah yaitu sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemisahan yang diterbitkan biaya ini diluar dari biaya pengukuran tanah yang dilakukan.
Jangka Waktu Pemisahan Sertifikat:
Berdasarkan Lampiran IX Peraturan No.6/2008 menyebutkan bahwa paling lambat 15 (lima belas) hari kerja (diluar waktu yang diperlukan untuk melakukan pengukuran tanah) untuk Pemecahan sampai dengan 5 (lima) bidang tanah terhitung sejak berkas diterima lengkap oleh Kantor Pertanahan dan telah lunas pembayaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dengan catatan bahwa sertipikat bidang-bidang tanah yang akan dipecah tidak ada catatan (bersih);
Pengukuran Tanah:
Pengukuran tanah dalam rangka pemecahan sertifikat diatur didalam Pasal 73 dan Pasal 74 Permen BPN No.3/1997 yang pada intinya mengatur sebagai berikut:
Untuk melakukan pemisahan atas sertifikat yang melakukan pemisahan diperlukan pengukuran kembali bidang tanah yang bersangkutan dan pemeliharaan data fisik dan yuridis. Karena tanah yang dipecah memiliki status hukum yang sama dengan bidang tanah induknya.
Instansi yang berwenang untuk Melakukan Pengukuran Tanah:
1.pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha. sampai dengan 1000 Ha dilaksanakan oleh Kantor Wilayah;
2.pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya lebih dari pada 1000 Ha. dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Hasil kedua pengukuran tersebut wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Apabila diperlukan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dapat memperbantukan petugas dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kantor Pertanahan lainnya dalam bentuk penugasan khusus maupun “task force” untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Tugas pemantauan dan pemberian bimbingan ini dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.
Berdasarkan penunjukan Deputi bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah pengukuran bidang tanah yang luas atau yang banyak jumlah bidangnya dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga. Pelaksanaan pengukuran bidang tanah oleh pihak ketiga ini disupervisi dan hasilnya disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah atau Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah sesuai kewenangannya.
Permohonan untuk Mengajukan Pengukuran Tanah:
Permohonan untuk melakukan pengukuran tanah di tujukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan
Pengukuran:
Setelah petugas pengukuran menerima perintah pengukuran, maka segera melakukan persiapan sebagai berikut :
1.memeriksa tersedianya sarana peta seperti peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta lainnya pada lokasi yang dimohon;
2.merencanakan pengukuran di atas peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta-peta lainnya yang memenuhi syarat, apabila tanah yang dimohon belum mempunyai gambar situasi/surat ukur;
3.dalam hal tidak terdapat peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta lain yang memenuhi syarat, maka segera disiapkan perencanaan pembuatan peta pendaftaran;
4.memeriksa tersedianya titik dasar teknik disekitar bidang tanah yang dimohon;
5.dalam hal tidak terdapat titik dasar teknik di sekitar bidang tanah yang akan diukur, meminta kepada pemohon untuk menyiapkan tugu titik dasar teknik minimal 2 (dua) buah dan bentuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
6.apabila kegiatan pengukuran bidang tanah diperlukan, mengadakan persiapan-persiapan, seperti menyiapkan formulir-formulir untuk pengukuran seperti gambar ukur, formulir pengukuran poligon; dll.
Penetapan Batas Tanah:
Sebelum pelaksanaan pengukuran bidang tanah, petugas ukur dari Kantor Pertanahan terlebih dahulu menetapkan batas-batas bidang tanah dan pemohon memasang tanda-tanda batas.
Apabila pengukuran batas bidang tanah dilaksanakan oleh pihak ketiga, penetapan batas bidang tanah dilaksanakan oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau petugas yang ditunjuknya.
Penetapan batas dilakukan setelah pemberitahuan secara tertulis kepada pemohon pengukuran, dan kepada pemegang hak atas bidang yang berbatasan. Pemberitahuan ini dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum penetapan batas dilaksanakan.
Setelah penetapan batas dan pemasangan tanda-tanda batas selesai dilaksanakan, maka dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah.
Pengumpulan dan Penelitian Data Yuridis Bidang Tanah:
Untuk keperluan penelitian data yuridis Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah menyerahkan alat-alat bukti yang ada dan daftar isian 201 yang sudah diisi sebagian dalam rangka penetapan batas bidang tanah kepada Panitia A.
Setelah penelitian data yuridis selesai dilakukan, maka Panitia A menyerahkan daftar isian 201 yang sudah diisi kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah yang selanjutnya menyiapkan pengumuman data fisik dan data yuridis.
Penelitian Data Fisik oleh Tim A
Setelah pengumpulan dan penelitian data yuridis dilakukan oleh Kepada Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah kemudian data itu diajukan kepada Panitia A unutk diperiksa kembali dalam pendaftaran tanah secara Sporadik adalah sebagai berikut:
1.meneliti data yuridis bidang tanah yang tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis mengenai pemilikan tanah secara lengkap;
2.melakukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan kebenaran alat bukti yang diajukan oleh pemohon pendaftaran tanah;
3.mencatat sanggahan/keberatan dan hasil penyelesaiannya;
4.membuat kesimpulan mengenai data yuridis bidang tanah yang bersangkutan;
5.mengisi daftar isian 201.
Untuk menilai kebenaran pernyataan pemohon dan keterangan saksi-saksi yang diajukan dalam pembuktian hak, Panitia A dapat :
1.Mencari keterangan tambahan dari masyarakat yang berada di sekitar bidang tanah tersebut yang dapat digunakan untuk memperkuat kesaksian atau keterangan mengenai pembuktian kepemilikan tanah tersebut;
2.Meminta keterangan tambahan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a yang diperkirakan dapat mengetahui riwayat kepemilikan bidang tanah tersebut dengan melihat usia dan lamanya bertempat tinggal di daerah tersebut.
3.Melihat keadaan bidang tanah di lokasinya untuk mengetahui apakah yang bersangkutan secara fisik menguasai tanah tersebut atau digunakan pihak lain dengan seizin yang bersangkutan, dan selain itu dapat menilai bangunan dan tanaman yang ada di atas bidang tanah yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk pembuktian kepemilikan seseorang atas bidang tanah tersebut.
Hasil penelitian data yuridis oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah dan atau Panitia A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201).
4.Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis:
Kutipan data yuridis dan data fisik yang sudah dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201) oleh Panitia A dimasukkan dalam Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah (daftar isian 201C), yang merupakan daftar isian yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Untuk memberi kesempatan bagi yang berkepentingan mengajukan keberatan atas data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang dimohon pendaftarannya, maka Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah (daftar isian 201C) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan peta bidang tanah yang bersangkutan diumumkan dengan menggunakan daftar isian 201B di Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah selama 60 (enam puluh) hari.
Dengan mempertimbangkan kemungkinan masalah pertanahan yang akan timbul Kepala Kantor Pertanahan dapat memutuskan bahwa pengumuman mengenai data fisik dan data yuridis mengenai tanah yang dimohon pendaftarannya dilaksanakan melalui sebuah harian umum setempat dan atau di lokasi tanah tersebut atas biaya pemohon.
Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis
Setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana berakhir, maka data fisik dan data yuridis tersebut disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (daftar isian 202).
Apabila pada waktu pengesahan data fisik dan data yuridis tersebut masih terdapat kekurang lengkapan data atau masih ada keberatan yang belum diselesaikan, maka pengesahan tersebut dilakukan dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan.
Kepada pihak yang mengajukan keberatan disampaikan kepadanya pemberitahuan tertulis agar segera mengajukan gugatan ke Pengadilan. Keberatan-keberatan tersebut didaftar dengan menggunakan daftar isian 309.
sumber: pabuaransakti.blogspot.com
“Siapakah Pejabat Pembuat Akta Tanah itu ? “
Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah pejabat umum yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tertentu, yaitu Akta Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan ke Dalam Perusahaan, Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Tanggungan, Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik dan pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. “Didaerah tertentu kebanyakan orang yang akan membuat akta jual beli tanah datang ke kecamatan. Apakah Camat sama dengan PPAT? “
Untuk daerah-daerah yang belum cukup jumlah PPAT-nya, Camat dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara, dan untuk desa yang sangat terpencil, Kepala Desa dapat ditunjuk sebagai PPAT Sementara. Keputusan Penunjukkan Camat sebagai PPAT Sementara tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah setempat atas nama Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sedangkan penunjukkan Kepala Desa sebagai PPAT Sementara dilakukan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, jadi hanya Camat untuk daerah tertentu yang belum cukup PPAT-nya atau lurah/kades untuk daerah terpencil yang ditunjuk sebagai PPAT Sementara yang dapat membuat Akta PPAT.
“Persyaratan apa saja yang diperlukan untuk membuat akta jual beli tanah di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah?”
Anda harus membawa : sertipikat tanah asli dari tanah yang akan dijual, KTP, bukti pembayaran PBB (Pajak Bumi & Bangunan), surat persetujuan suami/istri bagi yang sudah berkeluarga, dan kartu keluarga.
Calon pembeli membawa : KTP dan kartu keluarga
“Bagaimana proses pembuatan akta jual beli di kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah?”
Persiapan pembuatan akta jual beli
1) Sebelum membuat akta jual beli, PPAT melakukan pemeriksaan mengenai kesesuaian sertipikat dengan data-data yang ada di Kantor Pertanahan.
2) Penjual harus membayar Pajak Penghasilan (PPH) sebesar 5% dari harga jual apabila harga jual beli tanah diatas Rp.60.000.000,-
3) Pembeli harus membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 5% dari nilai perolehan obyek pajak kena pajak. Nilai perolehan obyek pajak kena pajak adalah nilai perolehan obyek pajak dikurangi nilai perolehan obyek pajak tidak kena pajak yang ditetapkan secara regional (masing2 Kabupaen/Kota) paling banyak Rp.60 juta.
4) Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dapat dibayarkan di bank atau kantor pos. Sebelum Pajak Penghasilan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dilunasi akta belum dapat ditandatangani.
5) Calon pembeli harus membuat pernyataan bahwa dengan membeli tanah tersebut ia tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum dan tanah absentee (guntai).
6) Pihak penjual membuat pernyataan bahwa tanah yang dimiliki tersebut tidak dalam sengketa.
7) Pejabat Pembuat akta tanah menjelaskan maksud dan isi pernyataan diatas.
8) PPAT wajib menolak pembuatan akta jual beli apabila:
- Tanah yang akan dijual sedang dalam sengketa, perkara atau disita oleh pengadilan.
- Kepada PPAT tidak diserahkan sertipikat asli atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar yang ada di kantor pertanahan.
- Salah satu atau para pihak yang akan melakukan jual beli tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk melakukan jual beli.
- Salah satu pihak bertindak atas dasar kuasa mutlak yang ada pada hakikatnya berisi perbuatan hukum memindahkan hak.
- Belum diperoleh ijin dari pejabat yang berwenang.
Pembuatan Akta Jual Beli
1. Pembuatan akta harus dihadiri oleh pihak penjual dan calon pembeli atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa tertulis.
2. Pembuatan akta harus dihadiri oleh sekuarang2nya dua saksi
3. PPAT wajib membacakan akta serta menjelaskan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, serta prosedur pendaftaran tanah yang harus dilaksanakan.
4. Bila isi akta telah disetujui oleh penjual dan calon pembeli maka akta ditandatangani oleh penjual, pembeli, saksi-saksi dan pejabat pembuat akta tanah, setelah dilunasi pajak penghasilan dan BPHTB.
5. Akta dibuat asli dalam 2 lembar, lembar pertama disimpan di kantor PPAT dan lembar kedua disampaikan ke kantor pertanahan untuk keperluan pendaftaran (balik nama).
6. Kepada penjual dan pembeli diberikan masing2 salinannya.
“ Berapa biaya yang harus dibayar untuk membuat akta jual beli ? “
Besarnya biaya pembuatan akta tidak boleh melebihi 1% dari harga transaksi yang tercantum didalam akta.
“Bagaimanakah langkah selanjutnya setelah selesai pembuatan akta jual beli?”
A. Setelah selesai pembuatan akta jual beli, PPAT kemudian menyerahkan akta jual beli dan dokumen lain yang diperlukan ke kantor pertanahan untuk keperluan balik nama sertipikat.
B. Penyerahan harus dilaksanakan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta tersebut.
C. Berkas atau dokumen yang diserahkan terdiri dari surat permohonan pendaftaran balik nama, surat kuasa tertulis (apabila balik nama diajukan bukan oleh pembeli), akta jual beli PPAT, sertipikat hak atas tanah, fotokopi KTP pembeli dan penjual, ijin pemindahan hak dari pejabat yang berwenang (apabila diperlukan), bukti pelunasan pembayaran pajak penghasilan (PPH), bukti pelunasan BPHTB.
”Bagaimana prosesnya di Kantor Pertanahan? ”
1. Setelah berkas disampaikan ke kantor pertanahan, kantor pertanahan memberikan tanda bukti penerimaan permohonan balik nama kepada pemohon ata kuasanya.
2. Nama pemegang hak lama (penjual) didalam buku tanah dan sertipikat dicoret dengan tinta hitam dan diparaf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
3. Nama pemegang hak yang baru (pembeli) ditulis pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertipikat dengan dibubuhi tanggal pencatatan dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
4. Pendaftaran balik nama sertipikat dikenakan biaya Rp.25.000,- , apabila tidak ada perubahan batas bidang tanah yang bersangkutan.
Cara Menghitung BPHTB Dalam Jual Beli Tanah
Pada saat melakukan jual beli tanah dan bangunan, baik pembeli maupun penjual akan dikenakan pajak. Penjual akan dikenakan pajak penghasilan (PPh) atas uang pembayaran harga tanah yang diterimanya, sedangkan pembeli akan dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak atas tanahnya. BPHTB dikenakan bukan hanya pada saat terjadinya jual beli tanah, tapi juga terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan (tukar menukar, hibah, waris, pemasukan tanah kedalam perseroan, dan lain-lain).
Dalam transaksi jual beli tanah, yang menjadi subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yaitu pembeli. Dalam rangka pembayaran BPHTB oleh pembeli, dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). NPOP dalam jual beli tanah adalah harga transaksi. Hal ini berbeda misalnya dengan tukar menukar, hibah atau warisan, yang dasar NPOP-nya menggunakan nilai pasar (Nilai Jual Objek Pajak/NJOP).
Nilai Perolehan Obyek Pajak atau harga transaksi bisa lebih besar atau bisa juga lebih kecil dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP), tergantung dari kesepakatan penjual dan pembeli – terkadang harga transaksi itu bisa juga sama dengan nilai NJOP. Apabila harga transaksi lebih kecil dari NJOP, maka yang menjadi dasar penentuan NPOP adalah nilai NJOP. Sebaliknya, jika harga transaksi lebih besar dari NJOP, maka nilai penentuan NPOP berdasarkan harga transaksi tersebut – nilai yang paling tinggi diantara NPOP dan NJOP.
Selain NPOP dan NJOP, faktor lainnya yang perlu diperhatikan dalam menentukan besarnya BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP). NPOPTKP adalah nilai pengurangan NPOP sebelum dikenakan tariff BPHTB. Misalnya, jika harga transaksi tanah Rp. 100.000.000, maka sebelum harga transaki tersebut dikenakan tariff BPHTB (5%) terlebih dahulu harga transaski itu dikurangi NPOPTKP – misalnya dikurangi NPOPTKP sebesar Rp. 80.000.000 untuk daerah DKI Jakarta. Hal ini membuat nilai pajak pembeli lebih kecil dibandingkan nilai pajak penjual – penjual tidak dikenakan NPOPTKP.
Setiap daerah memiliki NPOPTKP yang berbeda, tergantung peraturan daerah tersebut. Untuk wilayah DKI Jakarta, misalnya, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp 80.000.00000 untuk transaksi jual beli tanah dan Rp. 350.000.000 untuk perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah.
Contoh menghitung BPHTB dalam transaski jual beli tanah:
Wahyu membeli tanah milik Arya dengan nilai jual beli sebesar Rp. 200.000.000. Maka pajak penjual dan pajak pembeli adalah sebagai berikut:
Pajak Pembeli (BPHTB) NPOP : Rp 200.000.000,00 NPOPTKP : Rp 80.000.000,00 (-) NPOP Kena Pajak : Rp 120.000.000,00 BPHTB: : 5% x Rp 120.000.000 = Rp 6.000.000
Pajak Penjual (PPh)
NPOP : Rp 200.000.000 NPOP Kena Pajak : Rp 200.000.000 PPh: 5% x Rp 200.000.000,00 = Rp 10.000.000
PPJB dan AJB
Dalam transaksi jual beli tanah, seringkali kita mendengar dua istilah ini: PPJB dan AJB. PPJB adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli, sedangkan AJB adalah Akta Jual Beli. Kedua istilah itu merupakan sama-sama perjanjian, tapi memiliki akibat hukum yang berbeda.
Perbedaan utama kedua istilah tersebut adalah sifat otentikasinya. PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat dibawah tangan (akta non otentik). Akta non otentik berarti akta yang dibuat hanya oleh para pihak (calon penjual dan pembeli) dan tidak melibatkan notarsi/PPAT. Karena sifatnya non otentik, hal itu menyebabkan PPJB tersebut tidak mengikat tanah sebagai obyek perjanjiannya – tidak menyebabkan beralihnya kepemilikan tanah dari penjual ke pembeli.
PPJB umumnya mengatur bahwa penjual akan menjual tanahnya kepada pembeli, namun hal tersebut belum dapat dilakukan karena ada sebab tertentu, misalnya tanahnya masih dalam jaminan bank, atau masih diperlukan syarat lain untuk dilakukannya penyerahan. Dalam transaksi jual beli tanah, calon penjual dan pembeli tidak diwajibkan membuat PPJB.
Berebda halnya dengan PPJB, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan (balik nama) dari penjual kepada pembeli.
Dalam PPJB biasanya diatur tentang syaratisyarat tertentu yang harus dipenuhi oleh para pihak agar dapat dilakukannya AJB. Dengan demikian maka PPJB merupakan ikatan awal yang bersifat dibawah tangan untuk dapat dilakukannya AJB yang bersifat otentik.
Hak Guna Usaha (HGU) Atas Tanah
Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Bedanya dengan Hak Pakai, Hak guna Usaha hanya dapat diberikan untuk keperluan pertanian, perikanan atau peternakan untuk tanah yang luasnya minimal 5 hektar, serta terhadap Hak guna Usaha tidak dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain namun dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.
Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun, kecuali untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan Hak Guna Usaha untuk waktu paling lama 35 tahun, misalnya untuk perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman berumur panjang. Atas permintaan pemegang hak, dan dengan mengingat keadaan perusahaannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 25 tahun.
Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah yang luasnya minimal 5 Hektar. Jika luas tanah yang dimohonkan Hak Guna Usaha mencapai 25 hektar atau lebih, maka penggunaan Hak Guna Usahanya harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Hak Guna Usaha diberikan berdasarkan Penetapan Pemerintah.
Pihak yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna Usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan badan hukum asing. Pemberian Hak guna Usaha pada badan hukum yang bermodal asing hanya dimungkinkan dalam hal diperlukan berdasarkan undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana.
Syarat-syarat pemberian Hak Guna Usaha, demikian juga peralihan dan penghapusannya, harus didaftarkan. Pendaftaran tersebut meliputi kegiatan:
1. Pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah.
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihannya.
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
Permohonan Pemecahan Sertifikat Tanah
Pada prakteknya proses pemecahan sertifikat tanah kemungkinan terdapat berbedaan akan penerapan dan pelaksana dilapangan. Memo ini dibuat terbatas melalui studi kepustakaan berupa peraturan perundang-undangan dan beberapa artikel serta beberapa buku pertanahan tanpa melalui konfirmasi kepada pejabat pertanahan terkait.
Peraturan Terkait:
1.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Mengenai Ketentuan Umum Pertanahan (“UU No.5/1960?);
2.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“PP
No.24/1997“);
3.Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional (“PP No.46/2002“);
4.Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (“Permen No.3/1997“);
5.Peraturan Kepala BPN RI No.6 Tahun 2008 Tanggal 11 Juni 2008 Tentang Penyederhanaan Dan Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan Dan Pelayanan Pertanahan Untuk Jenis Pelayanan Pertanahan Tertentu (“Peraturan No.6/2008“);
6.Surat Edaran Kepala BPN Nomor 600-1900 tanggal 31 Juli 2003 Tentang Pengenaan Tarif Pelayanan Pengukuran dan Pemetaan, Pendaftaran Tanah, Pemeliharaan Data Pertanahan dan Informasi Pertanahan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 (“SE No.600-1900?).
7.Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-3637 Tahun 1998 Tentang Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 1998 Tentang Kewenangan Menandatangani Buku Tanah, Sertifikat Dan Surat Ukur (“SE No.110-3637“); dan
8.Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanaan Nasional Nomor 2 Tahun 1996 Tentang Pengukuran Dan Pemetaan Untuk Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah;
Pokok Permasalahan:
Bagaimanakah tatacara/prosedur dan persyaratan apa saja yang diperlukan untuk melaksanakan pemecahan sertifikat tanah berdasarkan hukum serta berapa lamakah proses pemecahan sertifikat dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Gambaran Umum Mengenai Pemecahan Sertifikat:
Tanah perumahan yang dikembangkan developer umumnya berasal dari banyak pemilik tanah, karena itu statusnya juga beranekaragam dan berbeda antara satu dengan yang lainnya. Diantaranya ada yang baru girik, ada yang sudah HGB (SHGB) dan hak milik (SHM), ada yang bahkan tidak dilengkapi dokumen. Setelah dibeli semua tanah itu disertifikatkan atas nama developer dengan status HGB. Inilah yang disebut sertifikat induk.
Saat tanah dikaveling-kaveling dan dipasarkan berikut bangunan, sertifikat induk itu dipecah atas nama konsumen, juga dengan status HGB. Dalam praktik SHGB bersama dokumen lain seperti IMB dan akta jual beli (AJB), diterima bank dari developer dalam 12 bulan sejak konsumen melunasi bea balik nama (BBN). Jadi, bila mengambil KPR berjangka dua tahun, bank bisa langsung menyerahkan sertifikat begitu kredit lunas.
Tapi, ada saja masalah yang membuat sertifikat belum bisa dipecah dan diserahkan developer ke bank. Misalnya, untuk menghemat biaya, pengurusan sertifikat dilakukan sekaligus setelah satu tahap pengembangan selesai melalui oknum kantor pertanahan dan bukan notaris/PPAT. Sebelum rampung si oknum dimutasi ke bagian lain, sehingga data-data dan dokumen konsumen yang sudah diserahkan developer berceceran. Akibatnya, pengurusan harus diulang melalui oknum pejabat yang baru. Pemecahan sertifikat pun tertunda.
Hanya konsumen yang telah melunasi kewajibannya saja yang bisa memperoleh sertifikat. Setelah semua kewajiban dilunasi, secara otomatis bank yang memberikan kredit perumahan akan memberikan sertifikat tersebut kepada konsumen. Namun sertifikat yang diberikan baru memiliki status hak guna bangunan. Ini karena sertifikat belum berganti nama kepada konsumen. Untuk memiliki sertifikat milik, konsumen harus mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN). Setelah disetujui barulah konsumen akan mendapatkan sertifikat milik.
Dalam pelaksanaan dilapangan sehari-hari waktu yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengurus sertifikat hak milik. Tapi yang pasti, kalau prosesnya berlarut-larut, berarti konsumen belum menyerahkan semua data yang diperlukan BPN. Karena biasanya, proses perubahan jenis sertifikat tidaklah sulit.
Sebenarnya setelah konsumen sepakat melakukan akitivitas jual-beli dengan pengembang, tidak lagi ada lagi kewajiban bagi pengembang untuk mengurus persoalan tersebut. Karena tanah dan bangunan tersebut telah dimiliki konsumen. Kalau konsumen mempergunakan jalur KPR untuk membayar rumah yang dibelinya, maka bank akan menyimpan sertifikat tersebut. Bank tidak mungkin memberikan sertifikat kepada konsumen. Bila dilakukan, kemungkinan konsumen lalai membayar kewajibannya cukup besar.
Bila konsumen langsung membayar lunas, tentunya pengembang akan langsung memberikan sertifikat tersebut kepada konsumen. Kalau dalam jangka waktu yang telah ditentukan, pengembang belum menyerahkan sertifikat. Berarti, pengembang telah melanggar kewajibannya.
Ketua Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) DPD Jawa Timur Nurhadi, menuturkan, proses legalitas lahan itu telah terjadi kalau pengembang telah memiliki sertifikat. “Pengembang tidak mungkin bekerjasama dengan perbankan kalau perumahan yang dikembangkannya tidak memiliki sertifikat,” jelasnya.
ketika hendak membangun proyek di sebuah tempat, biasanya pengembang membebaskan berbagai jenis status lahan. Ada yang berstatus girik, tidak sertifikat, dan bahkan ada yang telah besertifikat. Setelah dibebaskan pengembang kemudian mengurus sertifikat tanah yang dibelinya ke BPN. Semuanya digabung dalam satu sertifikat sesuai dengan kegunaan masing-masing lahan. Misalkan saja ada yang diperuntukan untuk fasos, fasum dan perumahan itu sendiri. Serfitikat yang dimiliki pengembang tersebut biasa disebut sertifikat induk. Jenis sertifikat biasanya adalah hak guna bangunan. Ini karena ketika mendaftar, pengembang mempergunakan badan hukum. Namun ketika konsumen membeli rumah, sertifikat tersebut dipecah lagi sesuai dengan kepemilikannya.
Tentunya ketika sebuah rumah dibeli konsumen, maka kepemilikannya juga akan berubah, ketika hendak merubah status sertifikatnya, maka konsumen tidak lagi berhubungan dengan pengembang. Melainkan langsung berhubungan ke BPN. “Kalau membeli rumah melalui KPR, pengembang biasanya telah memecah sertifikatnya. Kalau tidak, perbankan tidak akan tertarik.
Dalam kesempatan itu, dia berharap, agar konsumen terlebih dahulu mempertanyakan legalitas perijinan atas rumah yang akan dibeli, baik izin lokasi pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan maupun ijin-ijin lainnya kepada pengembang. Setelah itu, konfirmasi informasi perijinan yang disampaikan pengembang kepada pemerintah setempat dan perjelas apakah lokasi perumahan yang akan dibeli peruntukan lahannya sesuai dengan tata ruang tata wilayah yang ditetapkan pemerintah setempat.
Pemecahan Sertifikat Tanah
Atas permintaan pemegang hak yang bersangkutan, satu bidang tanah yang sudah didaftar dapat dipecah secara sempurna menjadi beberapa bagian, yang masing-masing merupakan satuan bidang baru dengan status hukum yang sama dengan bidang tanah semula. Pemecahan bidang tanah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku dan tidak boleh mengakibatkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku lainnya.
Dalam hal pemisahan sertifikat diatas untuk tiap bidang harus dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya. Apabila tanah yang ingin dipisahkan tersebut dibebankan hak tanggungan, dan atau beban-beban lain yang terdaftar, maka pemecahan sertifikat tersebut baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan.
Dalam pendaftaran pemisahan bidang tanah surat ukur, buku tanah dan sertipikat yang lama tetap berlaku untuk bidang tanah semula setelah dikurangi bidang tanah yang dipisahkan dan pada nomor surat ukur dan nomor haknya ditambahkan kata “sisa” dengan tinta merah, sedangkan angka luas tanahnya dikurangi dengan luas bidang tanah yang dipisahkan.
Pemecahan bidang tanah tidak boleh merugikan kepentingan kreditor yang mempunyai hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Oleh kerena itu pemecahan tanah itu hanya boleh dilakukan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari kreditor atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban lain yang bersangkutan sehingga beban yang bersangkutan tidak selalu harus dihapus. Dalam hal hak tersebut dibebani hak tanggungan, hak tanggungan yang bersangkutan tetap membebani bidang-bidang hasil pemecahan itu.
Dalam hal tanah yang ingin dipecah adalah tanah pertanian, maka diwajibkan untuk memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pemecahan sertifikat dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang dapat dilimpahkan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuknya.
Permohonan Pemecahan Sertifikat Tanah:
1.Persyaratan Permohonan Pemisahan Sertifikat Tanah:
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional yang dapat dilimpahkan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan demikian maka permohonan ditujukan kepada Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dengan dilampiri dengan beberapa dokumen berikut ini (Lampiran IX Peraturan No.6/2008):
1.Fotokopi identitas diri pemohon dan atau kuasanya yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang;
2.Sertipikat hak atas tanah;
3.Ijin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahan penggunaan tanah;
4.Ijin tertulis dari pemegang hak tanggungan apabila tanah tersebut dibebankan hak tanggungan;
5.Surat kuasa apabila permohonan pemecahan tidak dilakukan oleh sipemilik hak atas tanah tersebut; dan
6.Sertipikat Hak Atas Tanah asli, khusus bagi pengembang, harus juga menyertakan Site Plan kawasan pembangunan perumahannya.
Biaya Administrasi Pemecahan Sertifikat Tanah:
Sebagaimana diatur didalam PP No.46/2002 disebutkan bahwa penerimaan bukan pajak yang diterima negara dalam rangka pemecahan sertifikat tanah yaitu sebesar Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemisahan yang diterbitkan biaya ini diluar dari biaya pengukuran tanah yang dilakukan.
Jangka Waktu Pemisahan Sertifikat:
Berdasarkan Lampiran IX Peraturan No.6/2008 menyebutkan bahwa paling lambat 15 (lima belas) hari kerja (diluar waktu yang diperlukan untuk melakukan pengukuran tanah) untuk Pemecahan sampai dengan 5 (lima) bidang tanah terhitung sejak berkas diterima lengkap oleh Kantor Pertanahan dan telah lunas pembayaran yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dengan catatan bahwa sertipikat bidang-bidang tanah yang akan dipecah tidak ada catatan (bersih);
Pengukuran Tanah:
Pengukuran tanah dalam rangka pemecahan sertifikat diatur didalam Pasal 73 dan Pasal 74 Permen BPN No.3/1997 yang pada intinya mengatur sebagai berikut:
Untuk melakukan pemisahan atas sertifikat yang melakukan pemisahan diperlukan pengukuran kembali bidang tanah yang bersangkutan dan pemeliharaan data fisik dan yuridis. Karena tanah yang dipecah memiliki status hukum yang sama dengan bidang tanah induknya.
Instansi yang berwenang untuk Melakukan Pengukuran Tanah:
1.pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha. sampai dengan 1000 Ha dilaksanakan oleh Kantor Wilayah;
2.pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya lebih dari pada 1000 Ha. dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional.
Hasil kedua pengukuran tersebut wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Apabila diperlukan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dapat memperbantukan petugas dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kantor Pertanahan lainnya dalam bentuk penugasan khusus maupun “task force” untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Tugas pemantauan dan pemberian bimbingan ini dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah.
Berdasarkan penunjukan Deputi bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah pengukuran bidang tanah yang luas atau yang banyak jumlah bidangnya dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga. Pelaksanaan pengukuran bidang tanah oleh pihak ketiga ini disupervisi dan hasilnya disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah atau Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah sesuai kewenangannya.
Permohonan untuk Mengajukan Pengukuran Tanah:
Permohonan untuk melakukan pengukuran tanah di tujukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan
Pengukuran:
Setelah petugas pengukuran menerima perintah pengukuran, maka segera melakukan persiapan sebagai berikut :
1.memeriksa tersedianya sarana peta seperti peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta lainnya pada lokasi yang dimohon;
2.merencanakan pengukuran di atas peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta-peta lainnya yang memenuhi syarat, apabila tanah yang dimohon belum mempunyai gambar situasi/surat ukur;
3.dalam hal tidak terdapat peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta lain yang memenuhi syarat, maka segera disiapkan perencanaan pembuatan peta pendaftaran;
4.memeriksa tersedianya titik dasar teknik disekitar bidang tanah yang dimohon;
5.dalam hal tidak terdapat titik dasar teknik di sekitar bidang tanah yang akan diukur, meminta kepada pemohon untuk menyiapkan tugu titik dasar teknik minimal 2 (dua) buah dan bentuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
6.apabila kegiatan pengukuran bidang tanah diperlukan, mengadakan persiapan-persiapan, seperti menyiapkan formulir-formulir untuk pengukuran seperti gambar ukur, formulir pengukuran poligon; dll.
Penetapan Batas Tanah:
Sebelum pelaksanaan pengukuran bidang tanah, petugas ukur dari Kantor Pertanahan terlebih dahulu menetapkan batas-batas bidang tanah dan pemohon memasang tanda-tanda batas.
Apabila pengukuran batas bidang tanah dilaksanakan oleh pihak ketiga, penetapan batas bidang tanah dilaksanakan oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau petugas yang ditunjuknya.
Penetapan batas dilakukan setelah pemberitahuan secara tertulis kepada pemohon pengukuran, dan kepada pemegang hak atas bidang yang berbatasan. Pemberitahuan ini dilakukan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum penetapan batas dilaksanakan.
Setelah penetapan batas dan pemasangan tanda-tanda batas selesai dilaksanakan, maka dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah.
Pengumpulan dan Penelitian Data Yuridis Bidang Tanah:
Untuk keperluan penelitian data yuridis Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah menyerahkan alat-alat bukti yang ada dan daftar isian 201 yang sudah diisi sebagian dalam rangka penetapan batas bidang tanah kepada Panitia A.
Setelah penelitian data yuridis selesai dilakukan, maka Panitia A menyerahkan daftar isian 201 yang sudah diisi kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah yang selanjutnya menyiapkan pengumuman data fisik dan data yuridis.
Penelitian Data Fisik oleh Tim A
Setelah pengumpulan dan penelitian data yuridis dilakukan oleh Kepada Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah kemudian data itu diajukan kepada Panitia A unutk diperiksa kembali dalam pendaftaran tanah secara Sporadik adalah sebagai berikut:
1.meneliti data yuridis bidang tanah yang tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis mengenai pemilikan tanah secara lengkap;
2.melakukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan kebenaran alat bukti yang diajukan oleh pemohon pendaftaran tanah;
3.mencatat sanggahan/keberatan dan hasil penyelesaiannya;
4.membuat kesimpulan mengenai data yuridis bidang tanah yang bersangkutan;
5.mengisi daftar isian 201.
Untuk menilai kebenaran pernyataan pemohon dan keterangan saksi-saksi yang diajukan dalam pembuktian hak, Panitia A dapat :
1.Mencari keterangan tambahan dari masyarakat yang berada di sekitar bidang tanah tersebut yang dapat digunakan untuk memperkuat kesaksian atau keterangan mengenai pembuktian kepemilikan tanah tersebut;
2.Meminta keterangan tambahan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a yang diperkirakan dapat mengetahui riwayat kepemilikan bidang tanah tersebut dengan melihat usia dan lamanya bertempat tinggal di daerah tersebut.
3.Melihat keadaan bidang tanah di lokasinya untuk mengetahui apakah yang bersangkutan secara fisik menguasai tanah tersebut atau digunakan pihak lain dengan seizin yang bersangkutan, dan selain itu dapat menilai bangunan dan tanaman yang ada di atas bidang tanah yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk pembuktian kepemilikan seseorang atas bidang tanah tersebut.
Hasil penelitian data yuridis oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah dan atau Panitia A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201).
4.Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis:
Kutipan data yuridis dan data fisik yang sudah dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201) oleh Panitia A dimasukkan dalam Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah (daftar isian 201C), yang merupakan daftar isian yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Untuk memberi kesempatan bagi yang berkepentingan mengajukan keberatan atas data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang dimohon pendaftarannya, maka Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah (daftar isian 201C) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan peta bidang tanah yang bersangkutan diumumkan dengan menggunakan daftar isian 201B di Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah selama 60 (enam puluh) hari.
Dengan mempertimbangkan kemungkinan masalah pertanahan yang akan timbul Kepala Kantor Pertanahan dapat memutuskan bahwa pengumuman mengenai data fisik dan data yuridis mengenai tanah yang dimohon pendaftarannya dilaksanakan melalui sebuah harian umum setempat dan atau di lokasi tanah tersebut atas biaya pemohon.
Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis
Setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana berakhir, maka data fisik dan data yuridis tersebut disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (daftar isian 202).
Apabila pada waktu pengesahan data fisik dan data yuridis tersebut masih terdapat kekurang lengkapan data atau masih ada keberatan yang belum diselesaikan, maka pengesahan tersebut dilakukan dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan.
Kepada pihak yang mengajukan keberatan disampaikan kepadanya pemberitahuan tertulis agar segera mengajukan gugatan ke Pengadilan. Keberatan-keberatan tersebut didaftar dengan menggunakan daftar isian 309.
sumber: pabuaransakti.blogspot.com